PADANG,- Anggota DPRD Sumbar dari daerah pemilihan (dapil) Pesisir Selatan-Mentawai, Saidal Masfiyuddin meminta pemerintah daerah memberikan jaminan untuk korban tsunami Mentawai tahun 2010. Korban tsunami Mentawai tersebut saat ini direlokasi disebuah hutan produksi di daerah setemlat.
" Proses pelepasan hutan produksi yang ada di bawah Kementerian Kehutanan untuk dimanfaatkan sebagai pemukiman masyarakat memang butuh waktu. Namun, harus ada upaya dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Pemprov Sumbar memberikan jaminan kalau masyarakat bisa tinggal dengan nyaman dan mencari penghidupan di tempat mereka tinggal sekarang, " ujarnya saat dihubungi, Selasa (10/4)
Menurutnya, salah satu bentuknya, bisa dengan memberikan atas hak sementara ke pada masyarakat. Kemudian karena tak lama lagi Pemprov Sumbar akan melakukan perubahan RTRW Provinsi Sumbar, dituturkannya, persoalan ini bisa dimasukkan dalam pembahasa RTRW yang ada.
Lebih penting lagi, lanjut dia, Pemerintah Kabupaten Mentawai didukung Pemprov harus aktif mengurus kepastian hukum untuk korban tsunami Mentawai ini ke pusat, sebab mereka merupakan tanggungjawab pemerintah.
"Tak mungkin masyarakat sebanyak itu kita telantarkan. Untuk perusahaan yang sebelumnya mengelola hutan produksi itu, mereka juga harus rela melepaskan kawasan tersebut untuk masyarakat," tegas Saidal.
Berangkat dari persoalan ini, dewan dari Fraksi Golkar tersebut berpandangan sudah sewajarnya pusat hingga pemerintah daerah mendukung dan mempercepat kepastian hukum untuk korban tsunami Mentawai.
Hal ini karena, bagaimanapun juga hutan-hutan yang ada di Mentawai merupakan warisan nenek moyang penduduk di sana.
Saat mereka tertimpa musibah, jelas Saidal, sudah sepatutnya mereka dipermudah mendapatkan tempat tinggal layak di bumi yang telah dihuni nenek moyang mereka sejak lama.
Sebelumnya, Wakil Bupati Mentawai Kortanius Sabeleake memaparkan, ada 1.700 korban tsunami Mentawai hidup di tengah hutan produksi yang dijadikan titik relokasi.
Korban tsunami Mentawai tahun 2010 ini hidup dalam kegelisahan karena tempat tinggal mereka berada di hutan produksi yang dikuasai oleh perusahaan pemegang izin Hak Penguasaan Hutan (HPH).( Publikasi03)