DPRD Sumbar Dengar Pendapat LKAAM dan Bundo Kanduang

Komisi I DPRD Sumatera Barat menggelar rapat dengar pendapat dengan LKAAM dan Bundo Kanduang, akademisi dan Forum Walinagari dalam rangka pembahasan Ranperda Nagari, Rabu (14/6).

PADANG - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat sebagai tim pembahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Nagari menggelar rapat dengar pendapat dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan Bundo Kanduang, Rabu (14/6).

Ketua Komisi I DPRD Sumatera Barat Achiar bersama wakil ketua Sabrana dan anggota antara lain Aristo Munandar, Rahayu Purwanti dan Taufik Hidayat mendengarkan pendapat terkait pendalaman terhadap Ranperda Nagari. Dari LKAAM Sumatera Barat hadir Dewan Pertimbangan Hasan Basri dan anggota LKAAM, Akmal serta dari Bundo Kanduang adalah Puti Reno Raudah Thaib. Disamping itu, juga dihadirkan Charles Simabura dari akademisi dan pengurus Forum Walinagari.

Dewan Pertimbangan LKAAM Sumatera Barat Hasan Basri dalam kesempatan itu berpendapat, nagari di Minangkabau bukan sekedar pemerintahan administrasi. Nagari merupakan kesatuan masyarakat adat yang tidak bisa dipisahkan antara urusan administrasi dan urusan adat.

"Nagari merupakan masyarakat kesatuan adat, bukan sekedar pemerintahan administrasi. Ini berbeda dengan pemerintahan desa," katanya.

Melihat implementasi dari sistim pemerintahan nagari di Sumatera Barat, dia menilai pihak eksekutif sangat lamban. Hal ini karena pemerintah provinsi tidak memperhatikan saran-saran dari kaum adat.

Anggota LKAAM Akmal menambahkan, nagari sebagai sistim pemerintahan harus memiliki tiga unsur yaitu walinagari, badan musywarah nagari atau semacamnya serta perangkat adat. Walinagari beserta jajarannya sebagai pihak eksekutif dan Bamus Nagari sebagai pihak legislatif.

Dia menegaskan, apabila Sumatera Barat memilih sistim pemerintahan terendah adalah desa adat bernama nagari, maka harus ada perangkat adat. Undang - Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengatur Desa Adat, dan tentunya harus tunduk kepada pasal-pasal mengenai desa adat.

Menurut Akmal, kalau diterapkan pemerintahan adat, nantinya tidak akan ada pemilihan langsung seperti sekarang ini.

"Pada sistim pemerintahan nagari tidak ada pemilihan langsung. Demokrasi berlangsung dengan asas musyawarah dan mufakat, tidak ada one man one vote seperti sekarang," katanya.

Sementara itu, Puti Reno Raudah Thaib menegaskan, di dalam Ranperda Nagari yang sedang dibahas tidak memasukkan unsur Bundo Kanduang adalah sebuah kesalahan besar. Ranperda tersebut dinilai cacat sebelum memasukkan unsur Bundo Kanduang.

"Ranperda ini masih cacat karena tidak memasukkan unsur Bundo Kanduang," tegasnya.

Menurutnya, Bundo Kanduang merupakan "Mande Sako" di dalam adat, pemegang kunci rumah gadang. Kalau unsur Bundo Kanduang tidak masuk, dia memastikan sistim pemerintahan nagari yang akan dibangun nantinya akan kacau.

Selain unsur tersebut yang menurutnya harus ada di dalam unsur perangkat adat dan tertuang di dalam Perda, dia melihat aturan lain di dalam pasal-pasal secara umum sudah baik. Pada dasarnya, apapun yang diatur di dalam Perda, pelaksanaannya akan kembali kepada prinsip Adat Salingka Nagari.

Ranperda Nagari merupakan tindaklanjut dari pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dimana Sumatera Barat memilih menggunakan sistim Desa Adat sebagai pemerintahan terendah. Ranperda ini sudah dibahas sebelumnya oleh DPRD namun dikembalikan kepada pemerintah provinsi untuk disempurnakan sambil menunggu peraturan pemerintah lebih lanjut. *Publikasi/01