PADANG - Komisi II DPRD Sumbar mengupas persoalan perselisihan hubungan industrial antara enam orang anggota Serikat Pekerja Makanan di PT Bumi Sarimas Indonesia (BSI) yang bekerja sebagai sopir di perusahaan itu. Keenam orang ini dinonaktifkan perusahaan yang berlokasi di daerah Kasang, kecamatan Batanganai, Kabupaten Padangpariaman terhitung mulai Januari 2017 lalu.
“Kita ingin mendalami, apakah pekerja yang telah bergabung selama tiga tahun ini yang bermasalah dengan manajemen sehingga dinonaktifkan atau memang perusahaan yang tak ingin mengangkat mereka jadi karyawan tetap,†ungkap Ketua Komisi II DPRD Sumbar, Yuliarman, Selasa (14/3/2017) saat mengantar sesi tanya jawab pada rapat kerja itu.
Atas pertanyaan ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar, Nazrizal menyebut, awalnya sengketa hubungan industrial di PT BSI ini dikadukan ke Disnakertrans Setdakab Padangpariaman. Karena telah jadi kewenangan provinsi, maka kasusnya dilimpahkan ke Disnakertrans Sumbar.
“Kita telah lakukan mediasi antara pekerja dengan manajemen. Terakhir, mediasi dilakukan pada Januari 2017 lalu. Hasilnya, masih belum ada titik temu,†terang Nazrizal yang datang bersama sejumlah Kabid serta fungsional pengawas dan mediator sengketa hubungan industrial pada Disnakertrans.
Awalnya, terang Nazrizal, perusahaan telah bersedia memenuhi tuntutan keenam pekerjanya itu saat proses mediasi. Namun, di tengah perjalanan, hal itu batal lagi yang didasarkan pada pertimbangan dari bagian hukum perusahaan tersebut.
“Berubah-ubahnya kebijakan perusahaan ini, membuat titik temu tak pernah tercapai,†terangnya sembari menyebut, jika tak ada juga titik temu maka akan dipersilahkan menyelesaikan di pengadilan hubungan industrial (PHI).
Permintaan enam buruh PT BSI sebenarnya realistis saja. Gaji dibayarkan sesuai upah minimum provinsi (UMP) dan status jadi karyawan tetap, karena telah bekerja cukup lama.
Sementara, anggota Komisi II DPRD Sumbar, Widyatmo mengatakan, persoalan ketenagakerjaan serupa ini tak hanya terjadi di PT BSI. “Kita ingin tahu apakah provinsi memiliki sumberdaya yang cukup menyelesaikan kasus-kasus ini,†terangnya.
Menjawab hal ini, Azrizal menerangkan, hanya ada 35 orang fungsional pengawas yang merupakan pelimpahan dari kabupaten/kota. “Kita butuh sedikitnya 60 orang pengawas tenaga kerja. Namun, pengangkatan mereka merupakan kewenangan pusat,†terangnya. “Kita telah usulkan ke pusat penambahan fungsional pengawas perusahaan ini,†tambah dia.
Sementara, fungsional mediator hanya ada 3 orang di provinsi. “Ada 4.000 perusahaan yang tercatat di Disnakertrans Sumbar. Terbanyak ada di Padang. Perusahaan yang tercatat ini, minimal memiliki 10 orang pekerja. Skala usaha mereka biasanya UMKM. Jadi, memang agak kesulitan juga jika menerapkan aturan ketenagakerjaan secara ketat,†terang Azrizal.
“Namun, kita terus menyosialisasikan aturan ketenagakerjaan ini pada pelaku usaha ini. Seperti, karyawan digaji sesuai UMR, diikutkan pada jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan serta lainnya,†tambah Azrizal.
Dengan 35 orang tenaga fungsional pengawasan itu, ungkap Azrizal, hanya sanggup melakukan pengawasan dan monitoring pada 150 perusahaan setiap bulannya. “Wilayah pengawasan juga untuk skala Sumbar. Ini memang agak melelahkan,†terangnya. *Publikasi