PADANG,-Sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang
dikenal sebagai pintu masuk ke Ranah Minang, tempat di mana Rendang,
Rumah Gadang, dan keindahan alam khas Minangkabau berada. Selama ratusan
tahun, Padang telah menjadi bagian penting dalam perkembangan peradaban
Minangkabau.
Sejak masa
kolonial, Padang menjadi kota penting di pesisir barat Sumatera. Kota
sibuk yang kemudian menjadi sejarah panjang pertemuan antarbangsa,
membuat Padang memiliki pengaruh Arab, India, Tionghoa, dan Eropa yang
terekam dalam jejak arsitektur, kuliner, dan jaringan perdagangan.
Sejarah
mencatat, sebagai kota pelabuhan, Padang adalah kota yang mempertemukan
berbagai bangsa dan budaya. Dari proses interaksi yang panjang ini
kemudian muncul kesadaran akan keberagaman yang menjadikan Padang
sebagai kota toleran dan inklusif bagi semua orang. Ratusan tahun,
Padang menjadi tempat yang terbuka bagi semua kalangan, keberagaman
identitas, dan budaya. Yang paling penting adalah bagaimana menciptakan
keberagaman yang berkeadilan.
Sejak
abad ke-17 dan ke-18, Padang telah menjadi titik temu pedagang dari
Arab, India, Tionghoa, Eropa, dan berbagai wilayah di Nusantara. Jejak
interaksi multikultural tersebut dapat dilihat dari berdirinya kelenteng
tua Vihara Buddha Warman yang menandakan kehadiran komunitas Tionghoa.
Komunitas
India Muslim dan pedagang Arab berpengaruh dalam penyebaran Islam di
Ranah Minang dengan berdirinya masjid-masjid, perdagangan kain, dan
rempah. Juga terdapat jejak arsitektur Eropa yang berdiri berdampingan
dengan rumah tradisional Minangkabau.
Selain
jejak kultural dan spiritual, Padang masa lampau juga merupakan tempat
terjadinya dialektika pemikiran ideologis. Beragam gagasan kebangsaan
lahir, mulai dari nasionalis, islamis, sosialis, dan lainnya—yang lahir
dari tokoh-tokoh pergerakan yang pernah bersekolah di Padang, seperti
Bung Hatta, M. Natsir, dan Bagindo Aziz Chan. Hal ini membuktikan peran
strategis kota ini sebagai pusat intelektual, gerakan sosial, dan
kebudayaan.
Selama ini,
konservatisme adat dan agama kerap dianggap sebagai penghambat
perkembangan zaman dan modernisme. Namun hal tersebut tidak berlaku di
sini. Padang adalah tempat di mana keberagaman dirayakan sambil tetap
berpijak pada nilai-nilai tradisional yang inklusif. Hal ini tidak lepas
dari falsafah Minang "alam takambang jadi guru", yang mengajarkan bahwa
kehidupan selalu menjadi ruang belajar yang dinamis dan terbuka.
Alih-alih
terjebak dalam konservatisme, agama dan adat harus ditafsirkan sebagai
nilai-nilai yang inklusif dan egaliter. Tidak menjadi dogma yang
tertutup, tetapi hadir sebagai kerangka etika masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan keberagaman.
Lembaga
adat, ulama, masyarakat, dan pemerintah perlu bersinergi memastikan
nilai-nilai lokal dapat hidup berdampingan dengan hak-hak asasi manusia.
Sehingga keberagaman dan perbedaan tidak hanya ditoleransi, tetapi
dapat dirayakan bersama-sama.
Pada
tanggal 7 Agustus mendatang, Padang akan merayakan Hari Jadi Kota (HJK)
yang ke-356. Ini menjadi momen pengingat akan sejarah panjang kehidupan
keberagaman kota ini. Merawat ingatan atas sejarah panjang kota menjadi
tantangan hari ini. Ruang-ruang publik harus dipastikan terbuka bagi
semua kalangan baik pemuda, perempuan, penyandang disabilitas, hingga
kelompok minoritas. Semua berhak menjadi bagian dalam kota ini.
Ini
adalah tanggung jawab semua pihak pemerintahan, masyarakat sipil, dan
warga kota untuk terus melanjutkan arah peradaban yang tidak
meninggalkan tradisi, namun juga tidak alergi terhadap kebaruan, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar sesama. Perbedaan dan
keberagaman adalah kekayaan dan kekuatan yang dimiliki Kota Padang
selama ini.
Dengan
sejarah panjang yang dimiliki, Padang perlu menatap masa depan untuk
bertransformasi menjadi kota kosmopolitan, yakni pusat budaya, ekonomi,
dan gagasan yang berakar pada nilai lokal namun terbuka terhadap
keberagaman dan inovasi global.
Kota
kosmopolitan tidak selalu soal banyaknya gedung pencakar langit, tetapi
sejauh mana kota ini menjadi ruang hidup yang adil, terbuka, dan
manusiawi, di mana perbedaan dan keberagaman menjadi kekayaan serta
kekuatan kota tersebut.