DPRD Laksanakan Seminar Publik Ranperda Tanah Ulayat
Agar peraturan daerah (perda) terkait tanah ulayat bisa sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di tengah masyarakat, DPRD Sumbar menggelar seminar publik pembahasan rancangan perda tersebut, Rabu (11/1). Berbagai unsur diundang untuk hadir memberikan masukan dan saran.
Hadir sebagai narasumber, Ketua LKAAM Sumbar, Fauzi Bahar, perwakilan Kementerian ATR/BPN RI, kementerian dalam negeri, akademisi FISIP Unand bidang sosiologi dan ketua tim penyusunan ranperda tentang tanah ulayat.
Ketua LKAAM Sumbar, Fauzi Bahar memaparkan ada tujuh prinsip tanah ulayat menurut adat mamakai.
\"Salah satu prinsip tersebut ada pada Tambo adat Minangkabau, yakni tanah ulayat di Minangkabau, aia nyo nan buliah diminum nan batang tetap tinggal. Artinya hak ulayat itu hanya boleh hak manfaat, sementara keutuhan keterikatan antara sako dan pusako tetap dipertahankan,\" ujarnya.
Kemudian ada pula prinsip pemanfaatan tanah ulayat, yakni salamo gagak hitam, salamo aia hilia, salamo awan putiah yang dikunci dengan kato kato dulu ditapati, kato kudian, kato dicari.
\"Artinya pemanfaatan tanah ulayat tetap bisa dilaksanaka jika perjanjian antara pemilik dan pemakai tanah ulayat berpegang pada perjanjian. Lalu jika masa perjanjian habis maka perjajian harus diperbaharui, tak boleh BPN saja yang memperpanjang hak guna usahanya, atau tak boleh pula antar pengusaha dan penguasa tanpa sepengetahuan penghulu pemilik atau penguasa ulayat,\" ujarnya.
Prinsip lain, jika perjajian habis dan tak diperpanjang maka pengguna tanah ulayat meninggalkannya dan membawa harta mereka. Namun tanah tersebut kembali pada pemilik tanah ulayat semula.
Selain itu, soal pembagian hasil tanah ulayat telah pula disebutkan tambo, yakni ka rimbo babungo kayu, ka lauik babungo karang, ka sawah babungo ampiang, ka sungai babungo pasie, ka tambang babungo ameh.
\"Artinya, setiap macam kandungan dan setiap macam lokasi tanah ulayat sudah ditetapkan pembagiannya menurut adat secara jelas untuk pemilik tanah ulayat. Dalam tambo dinukilkan bahwa bungo/beo yakni 10 tarik ciek (10 persen),\" ujarnya.
Prinsip yang tak kalah penting yakni tentang perubahan status tanah ulayat, dalam tambo dikatakan : tanah ulayat di Minangkabau dijua indak, dimakan bali, digadai indak, dimakan sando. Artinya, tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan atau digadaikan, kecuali disebabkan ketentuan adat yang empat.
\"Artinya pula tanah ulayat di Sumbar tidak boleh berubah status kepemilikannya, tidak boleh hak guna usaha (HGU) yang boleh menurut prinsip adat adalah bagi hasil, sewa menyewa dan penyertaan modal. Bila ada HGU ini berarti melanggar ketentuan adat,\" paparnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Sumbar, Sawal mengatakan pada rancangan perda tentang tanah ulayat yang saat ini disusun Komisi I DPRD Sumbsar ditegaskan bahwa
tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat
merupakan identitas, petunjuk sekaligus faktor pengikat bagi kelangsungan hidup masyarakat hukum adat itu sendiri.
Hak ulayat ini juga yang memunculkan kearifan dan kebijaksaan masyarakat hukum adat dalam melahirkan tata aturan hukum adat terutama dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah adatnya. Selain juga mengatur peruntukan serta fungsi agar terjadi keseimbangan antara manusia dengan alam.
\"Namun seringkali dalam perjalanannya keseimbangan yang telah diibangun oleh masyarakat hukum adat tersebut berbenturan dengan kebijakan pertanahan, yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat,\" katanya.
Sehingga, tambah dia, dibutuhkan perda yang bisa memberikan perlindungan, rasa aman, serta jaminan terhadap pemenuhan termasuk pemulihan hak ulayat.
\"Sebenarnya sudah ada perda Tahun 2008 tentang tanah ulayat. Namun perda itu belum mampu mencapai tujuan tersebut. Ranperda baru yang saat ini disusun Komisi I diharapkan bisa memenuhinya,\" katanya.
Dia mengatakan sebelumnya komisi I juga telah melaksanakan pertemuan dengan masyarakat, tokoh adat di kabupaten/kota salah satunya Agam. Tujuannya untuk menghimpun semakin banyak data. Sehingga ranperda tersebut bisa merangkul kebutuhan seluruh kabupaten/kota, termasuk Mentawai. (04)